
JAKARTA - Peningkatan ekspor kopi dari Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel) menjadi sinyal positif bagi perekonomian daerah, terutama sektor perkebunan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa petani masih menghadapi tantangan berupa harga jual yang fluktuatif. Meskipun ekspor kopi tengah digencarkan, harga di tingkat petani belum menunjukkan kestabilan.
Pada awal Agustus 2025, Karantina Sumsel mencatat telah mengekspor sebanyak 19,8 ton kopi ke Malaysia melalui Pelabuhan Boom Baru, Kota Palembang. Komoditas ini memiliki nilai ekonomi mencapai Rp1,2 miliar dan telah melalui rangkaian tindakan karantina ketat. Hal ini dilakukan guna memastikan kopi bebas dari organisme pengganggu tumbuhan karantina dan memenuhi standar negara tujuan.
Kepala Karantina Sumsel, Sri Endah Ekandari, menyampaikan bahwa seluruh komoditas pertanian yang akan dilalulintaskan ke luar negeri wajib memenuhi persyaratan negara tujuan, termasuk aspek keamanan pangan.
Baca Juga
“Kami pastikan kopi dari Sumsel aman, sehat, dan memenuhi ketentuan teknis. Hal ini juga untuk memperlancar proses ekspor di pelabuhan tujuan,” katanya, Rabu, 6 Agustus 2025.
Sri Endah juga menambahkan bahwa volume ekspor kopi dari Sumsel terus menunjukkan peningkatan signifikan. Jika pada 2023 hanya 64 kilogram yang diekspor langsung dari pelabuhan di wilayah tersebut, maka pada 2024 volumenya naik menjadi 19,8 ton. Bahkan, sepanjang Januari hingga pertengahan 2025, volume ekspor sudah menembus angka 127 ton.
“Januari hingga pertengahan 2025, ekspor kopi meningkat pesat mencapai volume 127 ton. Ini menunjukkan juga besarnya potensi sektor perkebunan Sumsel,” tuturnya.
Namun, kenaikan ekspor tersebut belum berdampak positif terhadap kesejahteraan petani. Di Kecamatan Buay Pemaca, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, seorang petani kopi bernama Umar Makruf menyampaikan keprihatinannya mengenai harga jual kopi yang justru menurun.
Dia mengatakan bahwa harga kopi petik merah jenis Robusta saat ini hanya berada pada kisaran Rp43.000 per kilogram, sedangkan Arabika berada di level Rp35.000 per kilogram. Padahal, harga tersebut sebelumnya pernah menyentuh angka Rp75.000 per kilogram.
“Sayangnya harga di petani kita merosot, padahal kemarin pernah tertinggi di Rp75 ribu per Kg,” katanya saat dihubungi Bisnis.
Situasi tersebut membuat para petani memilih untuk menunda penjualan hasil panen mereka. Banyak di antara mereka lebih memilih menyimpan kopi sembari menunggu harga naik, yang diharapkan terjadi pada bulan September mendatang.
Umar juga mengungkapkan bahwa dari segi produksi, kebunnya menunjukkan hasil yang cukup baik. Untuk jenis Robusta, produksinya mencapai 2,5 ton per hektare. Sementara itu, Arabika dengan jumlah 400 batang pohon menghasilkan sekitar 1 ton per hektare.
“Untuk sekarang tantangan tidak ada, karena petani sudah mengantisipasi hama dan penyakit. Kecuali kalau cuaca tidak bisa kita prediksi, tapi Alhamdulillah sekarang (cuaca) bersahabat,” katanya.
Di wilayah lain, yaitu Desa Serambi, Kecamatan Jarai, Kabupaten Lahat, petani kopi Abi La Baba turut memberikan pandangannya. Ia menyebut harga kopi Robusta petik merah di daerahnya masih stabil pada kisaran Rp80.000 per kilogram. Namun, untuk jenis Robusta petik pelangi, harga mengalami penurunan menjadi Rp46.000 per kilogram.
“Masih bertengger di harga itu. Tapi untuk penurunan terjadi di Robusta petik pelangi yang sekarang Rp46 ribu per Kg,” ujarnya.
Abi yang juga mengelola usaha Kopi Kite, menjelaskan bahwa saat ini panen kopi hanya terjadi di dataran tinggi. Adapun panen di dataran rendah telah berakhir beberapa waktu lalu.
“Saat ini panen kopi hanya berlangsung di dataran tinggi,” tutupnya.
Peningkatan ekspor tentu membawa angin segar bagi sektor pertanian, namun masih ada pekerjaan rumah besar terkait keseimbangan antara nilai jual di pasar internasional dan harga beli di tingkat petani. Upaya hilirisasi dan distribusi hasil pertanian menjadi penting agar kesejahteraan petani ikut terdongkrak seiring naiknya volume ekspor.
Dari perspektif ekonomi lokal, penting bagi pemangku kebijakan untuk menyusun strategi agar harga di tingkat petani tidak tertinggal jauh dari nilai jual ekspor. Ketika ekspor meningkat, kesejahteraan petani seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keberhasilan tersebut.
Pemerintah daerah bersama pemangku kepentingan lainnya dapat memperkuat kelembagaan petani, mendorong penguatan koperasi, dan memberikan akses informasi pasar yang lebih luas. Dengan begitu, disparitas harga dapat ditekan dan petani tidak lagi menjadi pihak yang dirugikan dalam rantai distribusi komoditas kopi.
Dengan segala potensinya, Sumsel memiliki peluang besar untuk menjadi salah satu pusat ekspor kopi nasional. Namun, keberhasilan ekspor tidak akan lengkap jika tidak dibarengi dengan stabilitas harga dan kesejahteraan petani sebagai garda terdepan produksi. Ke depan, sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan petani menjadi kunci dalam mewujudkan ekosistem kopi yang adil dan berkelanjutan di Sumatera Selatan.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Ekspor Kopi Sumsel Naik, Petani Tetap Optimis
- 06 Agustus 2025
2.
BRI Tambah Kuota FLPP, Warga Makin Terbantu
- 06 Agustus 2025
3.
Usaha Lancar Lewat KUR Syariah BSI 2025
- 06 Agustus 2025
4.
Pertumbuhan Positif BCA Syariah di Semester I 2025
- 06 Agustus 2025
5.
Langkat Lindungi Ribuan Nelayan Lewat Program Asuransi
- 06 Agustus 2025