
JAKARTA - Potensi peningkatan aktivitas ekspor dan impor Indonesia kembali terbuka lebar setelah tercapainya kesepakatan tarif baru sebesar 19% antara Amerika Serikat dan Indonesia. Meski belum sepenuhnya dikalkulasi, kebijakan ini diyakini oleh Bank Indonesia (BI) dapat menciptakan peluang lebih luas bagi perdagangan internasional sekaligus mendorong kegiatan ekonomi domestik.
Dalam penjelasan terbarunya, Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Bank Indonesia, Firman Mochtar, menyebutkan bahwa adanya kesepakatan tersebut akan memberikan efek positif terhadap perdagangan antara kedua negara. Meskipun tidak merinci komoditas tertentu yang dimaksud, Firman menilai beberapa komoditas impor dari AS dapat memicu peningkatan aktivitas ekonomi dalam negeri.
“Jadi ekspornya akan lebih baik dari baseline kami. Impornya ini kami melihat bisa mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi domestik,” ujarnya dalam sebuah taklimat media yang digelar baru-baru ini.
Baca Juga
Kepastian Baru di Tengah Ketidakpastian Global
Selain dari aspek perdagangan, Firman juga menekankan bahwa kesepakatan tarif antara AS dan Indonesia memberi sinyal positif dalam bentuk kepastian kebijakan, baik bagi pelaku ekonomi domestik maupun pasar global. Menurutnya, kondisi ini berbeda dari sebelumnya yang diwarnai ketidakpastian akibat tensi perang dagang atau fluktuasi kebijakan proteksionisme.
Ia menambahkan bahwa tarif baru ini bahkan memberikan kepastian secara lebih luas karena diiringi dengan penurunan tarif dari AS kepada sejumlah negara lainnya. Harapannya, situasi ini akan memperkuat stabilitas ekonomi dan menciptakan iklim investasi yang lebih sehat di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dalam penilaiannya, dinamika tersebut bisa berdampak positif terhadap pergerakan modal global. Saat ini, terjadi pergeseran aliran modal keluar dari Amerika Serikat menuju kawasan Eropa serta negara-negara berkembang seperti Indonesia. Bahkan, aset-aset safe haven seperti emas pun turut mengalami peningkatan permintaan sebagai respons atas risiko ekonomi AS yang terus meningkat, termasuk tekanan fiskal.
Dampak Nilai Tukar dan Perdagangan Lintas Negara
Tren pelemahan indeks dolar AS terhadap mata uang negara-negara maju (DXY) maupun negara berkembang (ADXY) menjadi cerminan dari dinamika tersebut. Situasi ini memberikan ruang yang lebih leluasa bagi nilai tukar rupiah untuk bergerak stabil dan mendukung ketahanan ekonomi nasional.
Lebih lanjut, Bank Indonesia memandang kondisi global yang bergerak ke arah lebih terbuka dan kooperatif ini sebagai faktor penunjang untuk memperkuat fondasi pertumbuhan. Firman menjelaskan, meski belum dilakukan kalkulasi menyeluruh terhadap dampak dari penurunan tarif dari 32% menjadi 19%, arah kebijakan ini telah menunjukkan sinyal positif bagi perekonomian.
“Kita lihat nanti ya, kami masih hitung [dampaknya],” ujarnya.
Namun, ia tetap menekankan bahwa arah umum dari kesepakatan tersebut membuka peluang bagi Indonesia untuk mengoptimalkan sektor perdagangan dan menciptakan arus barang dan jasa yang lebih kompetitif.
Potensi Tambahan dari Kesepakatan Lain
Sementara itu, pemerintah turut memanfaatkan momen ini untuk memperluas upaya percepatan pertumbuhan ekonomi melalui sinergi dengan kesepakatan perdagangan lainnya. Salah satunya melalui kerja sama ekonomi strategis antara Indonesia dan Uni Eropa lewat IEU-CEPA.
Pernyataan senada juga disampaikan oleh Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu. Menurutnya, kombinasi antara kesepakatan tarif 19% dengan AS dan penguatan kerja sama dagang dengan Eropa membuka peluang ekonomi Indonesia untuk tumbuh lebih solid dan mendekati proyeksi pemerintah.
“Ada peluang untuk mendorong lebih cepat lagi karena ada momentum dengan keberhasilan tim untuk negosiasi [tarif],” jelas Febrio.
Target Pertumbuhan Ekonomi Lebih Dekat
Febrio menilai bahwa dengan tarif yang lebih rendah dibandingkan banyak negara lain, serta proyeksi ekspor semester II/2025 yang lebih kuat, target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5% semakin realistis untuk dicapai. Ia menggarisbawahi pentingnya pemerintah mengambil langkah cepat dalam memanfaatkan momentum ini melalui peningkatan kerja sama ekonomi bilateral maupun multilateral.
Menurut Febrio, pencapaian kesepakatan dagang seperti ini seharusnya dijadikan titik tolak untuk meningkatkan kinerja ekspor, memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global, dan memperbesar pangsa pasar ekspor nasional.
Momentum Strategis Perlu Dimaksimalkan
Kesepakatan tarif baru antara AS dan Indonesia dinilai sebagai momentum penting yang tak boleh disia-siakan. Dalam konteks perdagangan global yang terus berubah dan tidak pasti, kerja sama semacam ini bisa menjadi penyeimbang terhadap tekanan eksternal dan peluang pemulihan ekonomi.
Dengan terbukanya peluang di sektor perdagangan serta prospek peningkatan arus investasi dan penguatan nilai tukar, Indonesia kini berada pada posisi strategis untuk memanfaatkan kondisi global demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan.
Dukungan dari kebijakan fiskal, moneter, dan diplomasi ekonomi diperlukan untuk mengamankan keberlanjutan dampak positif dari kesepakatan ini. Koordinasi yang erat antara lembaga pemerintah, bank sentral, serta pelaku usaha juga menjadi kunci dalam memastikan bahwa manfaat kesepakatan tarif 19% dapat dirasakan secara maksimal oleh perekonomian nasional.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
2.
Asia Eropa Dorong Pemulihan Investasi ESG Global
- 25 Juli 2025
3.
IHSG Tertahan, Saham Ini Layak Dicermati Hari Ini
- 25 Juli 2025
4.
IHSG Menguat Ikuti Sentimen Positif Bursa Asia
- 25 Juli 2025
5.
Validasi SPPT Ditingkatkan Demi Pajak Akurat
- 25 Juli 2025