
JAKARTA - Di tengah tekanan ekonomi dan penurunan daya beli, justru segmen perjalanan premium menjadi tumpuan baru bagi industri penerbangan. Para penumpang dari kalangan affluent atau kelas atas tetap menunjukkan antusiasme bepergian, bahkan meningkat pascapandemi. Fenomena ini menjadi sorotan karena memperlihatkan adanya pergeseran preferensi dari kelas ekonomi ke layanan premium yang lebih nyaman dan personal.
Maskapai seperti All Nippon Airways (ANA) mencatatkan lonjakan permintaan yang signifikan. Sekitar satu dekade lalu, sebagian besar penumpang ANA adalah warga negara Jepang. Kini, lebih dari 80 persen konsumennya berasal dari Indonesia.
“Kami menyadari permintaan signifikan antara Indonesia dan Jepang. Sekitar 10 tahun lalu, lebih dari 80 persen konsumen adalah warga negara Jepang. Kini, lebih dari 80 persen konsumen kami adalah warga negara Indonesia,” ungkap Chief Representative ANA Airlines Indonesia, Tetsuma Fujii, di Jakarta.
Baca Juga
Untuk menjawab minat tersebut, ANA melakukan sejumlah penyesuaian. Mulai dari jaringan bandara yang terhubung ke destinasi internasional seperti Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, hingga China. Tak hanya itu, ANA pun mengakomodasi preferensi makanan penumpang Indonesia, salah satunya dengan menyajikan sambal dalam penerbangan.
Blok: Tren Bepergian Orang Kaya
Kondisi ini didukung data dari Passenger Sales and Marketing Manager ANA untuk Jakarta, Raymond Tjia. Ia menyebut tren “balas dendam” bepergian (revenge travel) masih berlangsung hingga kini. Permintaan naik 20 persen antara 2019 dan 2023, lalu bertumbuh 15 persen lagi di tahun berikutnya. Target pertumbuhan serupa pun dicanangkan untuk tahun berjalan.
Segmen konsumen premium menjadi ladang yang subur. ANA, misalnya, memberikan layanan eksklusif seperti penjemputan langsung di runway pesawat, hingga proses imigrasi khusus sesuai permintaan pelanggan.
“Sekarang kalau boleh dibilang, jualan business class lebih gampang daripada jualan economy class,” kata Raymond.
Tak hanya ANA, maskapai lain pun berlomba meningkatkan pengalaman perjalanan kelas atas. Virgin Atlantic, yang bermitra dengan Delta Airlines, memperkenalkan retreat suite untuk kenyamanan ekstra. Sementara Qatar Airways menghadirkan kursi bisnis mewah dengan fasilitas lengkap dan ruang pribadi.
Laporan dari firma finansial Morgan Stanley menegaskan hal tersebut. Industri penerbangan kini tak hanya mengandalkan kelas ekonomi, tetapi justru mengandalkan kelas atas sebagai motor utama pendapatan. Ini terlihat dari performa Delta Airlines yang mengalami peningkatan penjualan tiket premium sebesar 6 persen dengan nilai lebih dari 10 miliar dollar AS. Sementara itu, penjualan tiket ekonomi justru turun 4 persen.
“(Layanan) premium merupakan kelas di mana margin kami bisa terus meningkat, sehingga kami fokus meningkatkan layanan pada pelanggan segmentasi tersebut,” kata Presiden Delta Air Lines, Glen Hauenstein.
Kenaikan Transaksi Menyokong Tren
Data perbankan turut menguatkan tren tersebut. Head of Proposition and Partnership HSBC Indonesia, Francisca Arnan, mengatakan bahwa penggunaan kartu kredit untuk transaksi perjalanan di Jepang dan China meningkat tajam. Dibanding tahun sebelumnya, transaksi di Jepang naik 20 persen dan di China melonjak 32 persen.
”Tren-tren itu yang membuat kita sangat confident pada semester II. Jadi, sejauh ini, secara pelan-pelan untuk semua aktivitas perjalanan tidak ada yang berubah. Kami melihat animonya masih sangat baik dan akan kami lanjutkan terus,” ujar Francisca.
Kegiatan pameran seperti HSBC ANA Travel Fair menjadi ajang untuk memperkuat minat wisatawan premium. Pada kegiatan yang digelar di Central Park Mall Jakarta itu, pengunjung bisa mendapatkan promo tiket eksklusif dan penawaran khusus untuk kelas bisnis maupun ekonomi premium.
Chief Marketing Officer Tiket.com, Mikhael Gaery Undarsa, turut mencatat kenaikan transaksi selama musim liburan sekolah. Selama Juni hingga Juli, pemesanan tiket penerbangan meningkat 38 persen. Tujuan internasional terpopuler mencakup Jepang, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Australia.
Tak hanya tiket, kenaikan transaksi juga terjadi pada akomodasi (79 persen) dan atraksi wisata (45 persen). Pola ini menunjukkan bahwa meskipun harga melonjak dan ekonomi melemah, keinginan masyarakat untuk berlibur tidak surut.
”Menurut saya cukup menarik, sih, karena berarti travel itu semakin lama, semakin menjadi prioritas dalam level ekonomi setiap rumah tangga dan setiap keluarga,” ujar Mikhael.
Efek Lipstik dan Simbol Kemewahan Terjangkau
Tren bepergian ini pun dianggap mencerminkan fenomena ekonomi yang dikenal sebagai lipstick effect, yakni ketika masyarakat tetap membeli barang mewah dalam skala kecil saat daya beli menurun, demi mempertahankan kenyamanan psikologis.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengatakan bahwa wisata ke luar negeri menjadi simbol kemewahan yang relatif masih terjangkau. Terlebih, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing sedang cukup kuat, dan banyak maskapai menawarkan harga promo yang menarik.
“Wisata ke luar negeri merupakan simbol kemewahan yang saat ini makin terjangkau karena harga tiket murah. Rupiah juga sedang relatif kuat terhadap beberapa mata uang negara lain,” kata Wijayanto.
Di sisi lain, data makroekonomi menunjukkan daya beli yang menurun. Indeks Manajer Pembelian (PMI) konsisten di bawah 50, yang mencerminkan pesimisme dunia usaha. Nilai tabungan masyarakat juga menurun, dan angka pemutusan hubungan kerja cenderung meningkat.
Namun, dalam situasi yang tidak pasti ini, perjalanan premium justru tumbuh subur. Industri penerbangan pun mulai mengarahkan strateginya pada penumpang kelas atas sebagai sumber pendapatan yang lebih stabil.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
2.
3.
4.
Cara Daftar KPR Subsidi 2025 dan Syaratnya
- 26 Juli 2025
5.
Industri Kripto Diatur OJK Lewat Regulasi Baru
- 26 Juli 2025