
JAKARTA - Pembuatan faktur pajak merupakan bagian penting dalam administrasi perpajakan yang wajib dilakukan oleh setiap wajib pajak. Namun, dalam praktiknya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki kewenangan untuk menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak jika terdapat indikasi pelanggaran atau penyalahgunaan. Penonaktifan akses ini dapat dialami oleh wajib pajak yang terindikasi sebagai penerbit maupun pengguna faktur pajak tidak sah.
Agar dapat kembali mengakses fasilitas pembuatan faktur pajak, wajib pajak harus menjalani proses klarifikasi kepada DJP secara tertulis dan langsung, tanpa diwakilkan. Peraturan ini diatur dalam PER-9/PJ/2025 yang mulai berlaku pada 23 Juli 2025. Artikel ini membahas secara lengkap bagaimana mekanisme klarifikasi tersebut dan dokumen apa saja yang diperlukan.
Penonaktifan Akses Pembuatan Faktur Pajak oleh DJP
Baca JugaPenyaluran KUR BRI Dukung Ketahanan Pangan dan Ekonomi Rakyat
DJP dapat menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak terhadap wajib pajak berdasarkan hasil kegiatan intelijen perpajakan. Hal ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan faktur pajak yang dapat merugikan negara dan menjaga keabsahan administrasi perpajakan.
Penonaktifan akses ini biasanya dilakukan apabila wajib pajak terindikasi menerbitkan atau menggunakan faktur pajak yang tidak sesuai ketentuan, misalnya faktur fiktif atau manipulasi transaksi. Dampaknya, wajib pajak tidak bisa membuat faktur pajak baru sehingga berpotensi menghambat aktivitas usaha mereka.
Dengan adanya prosedur klarifikasi, wajib pajak diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa aktivitasnya sesuai aturan sehingga akses pembuatan faktur dapat diaktifkan kembali.
Prosedur Klarifikasi untuk Mengaktifkan Kembali Akses Faktur Pajak
Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-9/PJ/2025, wajib pajak yang akses faktur pajaknya dinonaktifkan harus mengajukan klarifikasi tertulis langsung kepada Kepala Kantor Wilayah DJP. Proses ini tidak boleh dikuasakan kepada pihak lain dan harus dilakukan secara personal oleh wajib pajak atau pengurus yang bertanggung jawab.
Dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b dijelaskan bahwa klarifikasi harus disampaikan sesuai dengan format yang telah ditentukan dan dilampirkan bersama dokumen pendukung. Tujuannya agar DJP dapat melakukan penilaian yang tepat atas klarifikasi tersebut.
Isi Klarifikasi yang Harus Dilampirkan
Klarifikasi yang diajukan wajib pajak harus memuat lima poin utama:
Nomor dan tanggal surat atau dokumen klarifikasi sebagai identitas administrasi.
Tujuan surat, yaitu ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP yang menaungi kantor pelayanan pajak wajib pajak.
Identitas wajib pajak atau pengurus dan/atau penanggung jawab perusahaan.
Penjelasan secara rinci terkait alasan dan fakta atas klarifikasi yang dilakukan.
Daftar dokumen pendukung yang melengkapi klarifikasi agar dapat diverifikasi secara lengkap.
Dengan format dan isi yang jelas, proses klarifikasi akan lebih mudah diproses dan dianalisis oleh DJP.
Dokumen Pendukung Klarifikasi untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
Selain surat klarifikasi, wajib pajak orang pribadi wajib melampirkan sejumlah dokumen penting sebagai bukti pendukung, antara lain:
Fotokopi KTP dan KK, atau paspor bagi Warga Negara Asing, yang sudah dilegalisasi oleh pejabat berwenang.
Surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari pejabat pemerintah setempat, seperti lurah atau kepala desa.
Foto berwarna yang memperlihatkan lokasi usaha atau tempat kegiatan wajib pajak.
Daftar penyedia barang (supplier list) selama satu tahun terakhir.
Rekening koran asli beserta bukti penerimaan dan pengeluaran selama satu tahun terakhir.
Dokumen transaksi yang meliputi purchase order, surat jalan (delivery order), berita acara serah terima barang, dan berita acara penyelesaian pekerjaan dalam satu tahun terakhir.
Dokumen-dokumen tersebut sangat krusial untuk menunjukkan transparansi dan keabsahan kegiatan usaha wajib pajak.
Dokumen Pendukung Klarifikasi untuk Wajib Pajak Badan
Bagi wajib pajak badan, dokumen pendukung yang harus dilampirkan serupa dengan wajib pajak orang pribadi, namun dengan tambahan dokumen legalitas usaha sebagai berikut:
Fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan perusahaan yang telah dilegalisasi pejabat berwenang.
Surat keterangan penunjukan dari kantor pusat untuk bentuk usaha tetap (BUT).
Dokumen tambahan ini diperlukan untuk menegaskan status hukum dan operasional perusahaan dalam proses klarifikasi.
Pentingnya Proses Klarifikasi bagi Wajib Pajak
Proses klarifikasi ini memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk mengajukan pembelaan dan melengkapi bukti yang dapat membuktikan bahwa aktivitas penerbitan faktur pajak mereka sesuai aturan. Jika klarifikasi diterima oleh DJP, akses pembuatan faktur pajak akan diaktifkan kembali sehingga wajib pajak dapat melanjutkan kewajiban perpajakan mereka dengan normal.
Mekanisme ini juga menjadi wujud keadilan dan transparansi dalam pengelolaan administrasi perpajakan, di mana wajib pajak diberi ruang untuk menjelaskan dan memperbaiki kondisi sebelum tindakan tegas seperti penonaktifan diambil secara permanen.
Penonaktifan akses pembuatan faktur pajak oleh DJP merupakan langkah preventif untuk menjaga keabsahan dan integritas sistem perpajakan. Namun, wajib pajak yang mengalami hal ini tidak perlu panik karena telah tersedia prosedur untuk mengajukan klarifikasi tertulis agar akses tersebut dapat diaktifkan kembali.
Dengan memahami proses, persyaratan, dan dokumen yang diperlukan, wajib pajak dapat mempersiapkan diri dengan baik untuk menjalani proses klarifikasi. Hal ini tentu sangat penting untuk menjaga kelancaran bisnis sekaligus mematuhi ketentuan perpajakan secara benar dan transparan.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
2.
Properti Mewah BSD City Terus Menarik Minat Konsumen
- 24 Juli 2025
3.
4.
Ganti Faskes BPJS via Aplikasi JKN, Mudah Lewat HP
- 24 Juli 2025
5.
UMKM Digital Tumbuh Sehat Lewat Sistem Pajak Tertib
- 24 Juli 2025