
JAKARTA - Energi surya kini menjadi ujung tombak masa depan energi Indonesia. Dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025–2060, pemerintah menargetkan kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) mencapai 108,7 gigawatt (GW) pada tahun 2060. Angka ini menunjukkan tekad Indonesia untuk mengambil peran utama dalam transisi energi menuju masa depan yang lebih bersih dan mandiri.
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menekankan pentingnya memanfaatkan potensi energi baru dan terbarukan, khususnya energi surya. Ia menyatakan bahwa transisi energi harus dimulai dari desa-desa hingga menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Dalam forum internasional KTT BRICS, Presiden juga menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi mencapai 100% energi terbarukan dalam satu dekade mendatang.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti pentingnya upaya implementasi yang tidak hanya bergantung pada dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Perlu strategi yang lebih luas dan terkoordinasi untuk memastikan PLTS benar-benar berkembang di dalam negeri.
Baca Juga
Salah satu langkah penting adalah pengembangan ekosistem industri surya yang lengkap dan terintegrasi. Ekosistem ini mencakup rantai pasok dari hulu ke hilir, mulai dari pengolahan bahan baku silika menjadi silikon, produksi sel surya, hingga perakitan modul. Ketersediaan rantai industri seperti ini sangat dibutuhkan untuk memastikan kemandirian dan keberlanjutan pasokan energi surya nasional, terutama dalam menghadapi tantangan global seperti ketegangan geopolitik dan persaingan teknologi.
Untuk mempercepat hal tersebut, IESR bekerja sama dengan Institut Teknologi Indonesia (ITI) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyusun peta jalan rantai pasok industri fotovoltaik terintegrasi di Indonesia. Kajian ini meliputi lima peta jalan dan strategi pengembangan yang berfokus pada peningkatan permintaan, peningkatan produksi, penyelarasan kebijakan, penguasaan teknologi utama, dan penciptaan lapangan kerja.
Menurut Fabby Tumiwa, Chief Executive Officer IESR, permintaan global terhadap teknologi fotovoltaik diprediksi akan terus meningkat karena komitmen negara-negara dunia terhadap net zero emissions (NZE). Kemajuan teknologi sel surya saat ini mendorong efisiensi yang lebih tinggi dan biaya produksi yang makin rendah. Kondisi ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk turut ambil bagian dalam rantai pasok global.
Fabby juga menyoroti ketergantungan dunia terhadap satu negara dalam rantai pasok PLTS, yaitu China, yang memicu kebutuhan mendesak akan alternatif lain. “Negara-negara Asia, Eropa, Afrika, Amerika Latin kini mencari alternatif rantai pasok dengan mempertimbangkan efisiensi logistik sebagai faktor utama. Indonesia yang berada di jantung Asia Tenggara dengan akses ke Asia dan Pasifik, memiliki peluang besar untuk memosisikan diri sebagai pusat produksi PLTS di kawasan. Selain meningkatkan daya saing, pengembangan industri PLTS domestik, ekspor teknologi ini dapat menjadi sumber pendapatan baru menggantikan batu bara yang mulai memasuki masa senjanya,” jelas Fabby.
Fabby juga menegaskan bahwa Indonesia memiliki cadangan mineral kritis yang besar. Ia mendorong agar Satuan Tugas Hilirisasi menjadikan pengembangan mineral untuk teknologi energi bersih sebagai prioritas utama nasional.
Dari sisi perencanaan, RUPTL PLN 2025–2034 menargetkan pembangunan PLTS sebesar 17,2 GW. Selain itu, proyek ekspor listrik ke Singapura sebesar 3,5 GWac diperkirakan akan mendorong kebutuhan akan industri PLTS domestik yang andal. Namun, hingga kini, Indonesia masih belum memiliki industri hulu seperti produksi polisilikon, ingot, wafer, atau kaca low iron tempered yang sangat penting dalam produksi modul surya.
Alvin Putra Sisdwinugraha, analis IESR, menjelaskan bahwa hal ini cukup ironis mengingat Indonesia memiliki cadangan pasir kuarsa yang melimpah. “Lebih dari 17 miliar ton pasir kuarsa tersebar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara,” ujarnya.
Dengan ketersediaan bahan baku seperti silika, tenaga kerja, kawasan industri, dan sumber energi terbarukan, IESR memperkirakan bahwa biaya produksi polisilikon di Indonesia bisa ditekan hingga di bawah USD 9 per kilogram. Ini menjadikan Indonesia kompetitif di pasar regional maupun global.
Di sisi hilir, Indonesia sebenarnya telah mampu memproduksi sel dan modul surya. Kapasitas produksi saat ini mencapai 10,6 GW untuk modul dan 9,5 GW untuk sel. Namun, tingkat pemanfaatannya masih rendah karena permintaan dalam negeri belum maksimal. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang besar untuk memperluas pasar domestik.
“Pengalaman industri sel dan modul surya domestik memproduksi dalam skala gigawatt adalah peluang besar. Minat investasi di sektor sel juga cukup tinggi. Produksi modul memiliki modal awal yang lebih rendah dan dapat diperkuat dengan ketersediaan industri penunjang seperti aluminium dan kaca, serta tren ekspor yang terus meningkat,” ujar Alvin.
Untuk mendorong pengembangan ini, IESR mengusulkan strategi dalam tiga tahap: jangka pendek (2025–2030), menengah (2031–2040), dan panjang (2041–2060). Strategi tersebut bertujuan memperkuat pondasi industri fotovoltaik nasional melalui peta jalan terpadu dan pembentukan kelompok kerja lintas sektor.
Langkah konkret yang disarankan meliputi pemberian insentif fiskal dan nonfiskal, penyederhanaan aturan pengadaan, harmonisasi bea masuk, dan kebijakan harga yang mendukung produk lokal. Di samping itu, diperlukan pula kerja sama dalam kerangka AFTA, pengembangan R&D, hilirisasi bahan mentah, serta pembiayaan dari lembaga keuangan nasional.
Investasi asing juga diharapkan mendukung alih teknologi dan kolaborasi inovasi. Semua langkah ini perlu disinergikan dalam satu konsorsium nasional yang mengintegrasikan seluruh pelaku industri, mulai dari hulu hingga hilir.
Dengan strategi ini, Indonesia tidak hanya akan memperkuat ketahanan energinya, tetapi juga bertransformasi menjadi pemimpin dalam industri surya global yang berkelanjutan dan berdaya saing.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Xiaomi Redmi Turbo 5 Usung Chipset Baru dan Baterai Jumbo
- 05 Agustus 2025
2.
Samsung Galaxy A17 5G Siap Meluncur di Indonesia
- 05 Agustus 2025
3.
iPhone di Bawah 10 Juta yang Masih Worth It 2025
- 05 Agustus 2025
4.
Garuda Indonesia Tingkatkan Layanan dengan Rute Baru
- 05 Agustus 2025
5.
Sinergi Pemprov Banten dan Angkasa Pura Bandara Soetta
- 05 Agustus 2025