JAKARTA - Dalam era digital yang kian berkembang, aspek keadilan dan efisiensi perpajakan menjadi semakin penting. Pemerintah merespons kebutuhan ini dengan menerapkan kebijakan perpajakan terhadap pedagang e?commerce melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor?37 Tahun?2025. Aturan ini bukan ditujukan untuk menambah beban pelaku usaha, melainkan menyederhanakan pelaporan pajak dan menciptakan kesetaraan antara pelaku usaha daring dan konvensional.
Kebijakan untuk Kesetaraan, Bukan Penambahan Beban
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kebijakan e?commerce ini tidak menghadirkan kewajiban baru bagi pedagang daring. “Saya ulangi, tanpa ada tambahan kewajiban baru. Jadi, ini lebih memfasilitasi secara administrasi, tidak ada kewajiban baru,” ungkapnya dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan III 2025 di Jakarta. Dengan demikian, fokus pemerintah adalah pada proses administrasi yang lebih efisien, bukan menambahkan beban fiskal pada pelaku usaha.
Komponen Pajak dan Ketentuan Omzet
Dalam PMK tersebut disebutkan bahwa Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) bertindak sebagai pemungut PPh Pasal?22 atas pedagang daring dengan omzet kotor lebih dari Rp?500 juta per tahun. Tarif yang dikenakan sebesar 0,5?persen dari total omzet. Dengan penggunaan platform sebagai pemungut, diharapkan pelaporan menjadi lebih konsisten dan transparan.
Aturan ini juga memberikan pengecualian bagi pelaku usaha mikro atau kecil, serta transaksi tertentu. Penjual layanan seperti jasa pengiriman barang, ojek online, penjual pulsa, maupun perdagangan emas tidak termasuk dalam mekanisme pungutan ini. Langkah ini memastikan bahwa aktivitas ekonomi yang pro-rakyat tidak terhambat oleh proses administratif baru.
Dampak Terhadap Harga: Tetap Stabil
Publik mungkin bertanya-tanya apakah ada risiko kenaikan harga produk akibat penerapan pajak ini. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menegaskan bahwa harga barang tidak akan naik secara signifikan. “Sebagian besar pedagang sudah memperhitungkan pajak saat menentukan harga jual,” ujarnya. Dengan platform yang mengambil peran sebagai pemungut, mekanisme perpajakan menjadi lebih rapi tanpa membebani pedagang.
Bimo menambahkan bahwa kebijakan ini bertujuan menciptakan “level playing field” antara e?commerce dan toko fisik. Konsumen tetap menikmati harga sama, sementara pemerintah memperoleh mekanisme pengawasan yang lebih baik dan akurat.
Dukungan dari Pelaku Usaha Retail Offline
Kebijakan tersebut juga mendapat dukungan dari Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo). Ketua Umum Hippindo, Budihardjo Iduansjah, menyatakan bahwa aturan ini memperkuat prinsip keadilan perpajakan. “Karena kami bayar pajak, jadi tidak ada cerita ada yang bayar pajak, ada yang tidak bayar pajak. Jadi harus semua bayar pajak. Kita punya kewajiban dan hak yang sama,” ujarnya di Jakarta.
Budihardjo menjelaskan bahwa selama ini ritel fisik telah menjalankan kewajiban perpajakan yang baik, sementara sejumlah pedagang daring beroperasi tanpa tercatat. Dengan diterapkannya sistem pemungut pajak melalui platform, persaingan menjadi lebih seimbang, sekaligus sekaligus memperkuat rasa keadilan bisnis lokal.
Manfaat Utama bagi Pemerintah dan Pedagang
Secara sistem, pengalihan mekanisme pelaporan pajak dari pedagang ke platform membawa sejumlah keuntungan:
Efisiensi administrasi: UMKM tidak lagi terbebani urusan pelaporan pajak secara manual.
Pengawasan lebih baik: Platform dapat memberikan data real-time untuk rekonsiliasi.
Keadilan usaha: Semua pelaku usaha dengan skala omzet yang sama dikenai kewajiban pajak yang setara.
Penerimaan pajak lebih akurat: Pemerintah memperoleh data transaksi daring lebih rapi tanpa kebocoran.
Sistem ini juga diharapkan meningkatkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya pelaporan pajak yang tertib dan transparan. Dengan meminimalkan celah usaha ilegal, sistem akan mendorong industri e?commerce tumbuh sehat dan berkelanjutan.
Kesiapan Digital dan Era Baru Perpajakan
Transformasi ke arah digital memerlukan penyesuaian regulasi dan administrasi. Lewat PMK Nomor?37 Tahun?2025, pemerintah memunculkan era baru di mana perpajakan digital tidak menjadi hambatan bagi pertumbuhan platform e?commerce, melainkan mendukung inovasi dan produktivitas.
Penerapan kebijakan ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk menjadikan ekonomi digital lebih inklusif tanpa mengesampingkan kepentingan usaha kecil. Dengan demikian, kestabilan sistem keuangan dan kesejahteraan pelaku usaha dapat berjalan beriringan.
Menatap Masa Depan e?Commerce yang Inklusif
Dengan sistem yang tertata, pemerintah turut menciptakan ekosistem e?commerce yang adil bagi semua. Baik penjual daring berskala besar maupun ritel fisik yang telah patuh pada kewajiban, kini berada dalam satu sistem pajak yang transparan dan setara. Pelaku usaha kecil tetap mendapat kelonggaran administratif sehingga mampu fokus mengembangkan usahanya.
Secara keseluruhan, kebijakan ini menandai langkah penting menuju regulasi perpajakan digital yang adaptif dan etis. Tata kelola yang lebih terstruktur juga memberi sinyal positif bagi pelaku usaha serta investor bahwa Indonesia berkomitmen membangun ekonomi digital yang tertib, inklusif, dan berkelanjutan.