JAKARTA - Di balik upaya menciptakan ketahanan pangan di Jawa Barat, salah satu elemen krusial yang kerap menjadi pembicaraan hangat adalah sistem pengairan. Infrastruktur irigasi bukan hanya soal teknis distribusi air, tapi juga berkaitan langsung dengan keberlangsungan pertanian dan kesejahteraan petani. Dalam berbagai pertemuan strategis di tingkat provinsi, isu ini terus menjadi perhatian serius.
Anggota Komisi 4 DPRD Jawa Barat, Prasetyawati, menyampaikan pandangannya secara tegas. Ia menilai bahwa ketahanan pangan tidak mungkin diwujudkan tanpa sistem pengairan yang optimal. Menurutnya, pertanian adalah sektor yang sangat bergantung pada infrastruktur ini, terutama di daerah pedesaan yang mengandalkan hasil panen sebagai sumber utama penghidupan.
“Kalau kita bicara ketahanan pangan, kita tidak bisa lepas dari pengairan. Jawa Barat punya potensi pertanian luar biasa, tapi kalau irigasinya rusak, petani tidak bisa panen maksimal,” ujarnya.
Kerusakan Irigasi, Tantangan Produktivitas
Permasalahan tidak berhenti pada pentingnya peran irigasi. Fakta menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga jaringan irigasi di wilayah Jawa Barat mengalami kerusakan, mulai dari ringan hingga berat. Kondisi ini jelas berdampak pada penurunan produktivitas lahan.
Melihat hal ini, Prasetyawati menegaskan bahwa Komisi 4 DPRD Jabar telah melakukan berbagai langkah untuk menyoroti persoalan tersebut, terutama dalam forum rapat kerja. Ia menyampaikan bahwa fokus rehabilitasi harus diarahkan pada jaringan irigasi teknis di daerah-daerah lumbung padi seperti Karawang, Indramayu, Subang, dan Cianjur.
“Komisi 4 DPRD Jabar sudah menyoroti hal ini dalam rapat-rapat kerja. Kami mendorong agar Pemprov fokus pada rehabilitasi jaringan irigasi teknis, terutama di kawasan sentra produksi padi seperti Indramayu, Subang, Karawang, dan Cianjur,” tambahnya.
Embung dan Bendungan, Solusi Jangka Panjang
Selain perbaikan jaringan irigasi yang rusak, tantangan lainnya datang dari perubahan iklim yang semakin tidak menentu. Curah hujan ekstrem dan kemarau panjang menyebabkan ketidakstabilan pasokan air untuk pertanian.
Prasetyawati menggarisbawahi pentingnya pembangunan embung desa dan bendungan kecil yang berfungsi menampung air saat musim hujan dan menjadi cadangan saat kemarau. Ia melihat solusi lokal seperti embung sebagai langkah konkret dan relevan di tengah keterbatasan anggaran.
“Embung desa itu jangan dianggap kecil, justru itu solusi lokal yang sangat efektif. Kami terus mendorong agar anggaran desa diarahkan untuk membuat embung dan sumur resapan,” katanya.
Ia juga menyampaikan harapan agar program pembangunan embung dari pemerintah pusat dapat selaras dengan program yang dimiliki oleh provinsi dan kabupaten. Menurutnya, sinergi antarlevel pemerintahan menjadi kunci agar pembangunan pengairan tidak berjalan parsial.
Kontrol Lahan Pertanian Jadi Kewajiban
Ketersediaan air memang penting, namun menurut Prasetyawati, semua akan sia-sia jika lahan pertanian terus menyusut karena alih fungsi. Fenomena ini kerap terjadi akibat lemahnya pengawasan serta kebijakan jangka pendek yang mengorbankan sektor pertanian.
“Kalau kita tidak ketat menjaga lahan-lahan pertanian, maka pengairan sehebat apapun tidak akan bermanfaat. Ini harus dikontrol dengan Perda dan pengawasan langsung dari pemda,” tegasnya.
Ia mendorong penguatan legislasi melalui kebijakan yang melindungi lahan produktif, termasuk penetapan zona irigasi prioritas yang tak boleh diganggu oleh kepentingan industri atau permukiman.
Evaluasi Proyek dan Keterlibatan Masyarakat
Dalam pelaksanaan program irigasi, aspek pengawasan terhadap proyek juga tak kalah penting. Prasetyawati menyoroti sejumlah proyek pengairan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ia menyebut banyak pembangunan yang gagal karena perencanaan yang buruk dan minimnya pelibatan masyarakat lokal.
“Kita butuh perencanaan yang matang, survei teknis yang akurat, dan pelibatan masyarakat. Banyak irigasi dibangun, tapi airnya tidak sampai ke sawah. Namun di kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi, saya percaya ini akan tertata,” katanya.
Terkait anggaran, untuk tahun 2025, Komisi 4 DPRD Jabar berkomitmen mendorong agar alokasi untuk infrastruktur pengairan ditingkatkan. Ia menyebut bahwa anggaran tersebut tidak hanya harus difokuskan pada pembangunan jaringan primer dan sekunder, tetapi juga menyasar aspek pemeliharaan serta peningkatan kapasitas SDM.
“Petani juga harus dilibatkan dalam perencanaan. Jangan hanya bangun proyek, tapi setelah itu tidak ada yang bisa memelihara. Maka kita perlu program pemberdayaan dan pelatihan pengelolaan irigasi,” kata Prasetyawati.
Menjaga Air, Menjaga Masa Depan
Pada akhirnya, air tidak hanya menjadi sumber daya teknis, tapi juga simbol dari keberlangsungan kehidupan. Prasetyawati menegaskan bahwa menjaga sumber daya air berarti menjaga masa depan pertanian dan generasi yang akan datang.
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk tidak hanya mengandalkan pemerintah, tetapi juga terlibat aktif dalam merawat, memelihara, dan mengawasi penggunaan air secara bijak.
“Kalau kita jaga air, kita jaga masa depan. Jangan hanya bicara pembangunan, tapi kita juga harus bicara pelestarian. Mari kita jadikan Jawa Barat sebagai provinsi yang kuat di bidang pertanian karena sistem pengairannya unggul,” pungkasnya.