JAKARTA - Pengelolaan sampah kini tak lagi sekadar persoalan lingkungan, tetapi telah menjadi bagian penting dari strategi diversifikasi energi nasional. Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mempercepat pengembangan teknologi waste to energy (WTE) sebagai solusi untuk mengubah limbah menjadi sumber energi yang bermanfaat.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menyampaikan bahwa teknologi ini membuka peluang besar untuk menghasilkan berbagai bentuk energi terbarukan, termasuk listrik, bioenergi, dan bahan bakar pengganti dari sampah plastik.
“Jadi bahan bakar substitusi dari sampah plastik, itu bisa diolah kembali dengan teknologi pirolisis, ini 1 ton sampah bisa menghasilkan sekitar 400 liter bahan bakar terbarukan. Jadi ini kan juga akan memperkuat energi," ujar Yuliot di Jakarta.
Yuliot menekankan bahwa transformasi sampah menjadi energi tidak hanya memperkuat ketahanan energi nasional, tetapi juga menciptakan peluang usaha baru. Sektor industri dan rumah tangga bisa menjadi konsumen langsung dari energi hasil pengolahan sampah, menciptakan sirkulasi ekonomi yang positif dan berkelanjutan.
Mengacu pada data Kementerian ESDM, sepanjang tahun 2024, Indonesia menghasilkan total 33,8 juta ton sampah. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 59,9 persen atau 20,2 juta ton yang berhasil dikelola, sementara sisanya, yakni 13,6 juta ton, masih belum tertangani secara maksimal.
"Jadi Bapak-Ibu, kalau ini pernah ke Bantar Gebang, ini sudah menjadi gunung sampah di beberapa daerah, jadi justru seperti di Jawa Barat, di Langkai juga itu bermasalah, kemudian di Bali, di kota-kota besar pada umumnya itu bermasalah. Jadi kita juga mencoba untuk kebijakan waste to energy," jelas Yuliot.
Langkah pemerintah untuk mempercepat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) menjadi bagian penting dari upaya ini. Salah satu langkah yang tengah dilakukan adalah menyusun regulasi baru guna menggantikan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018. Regulasi sebelumnya dianggap kurang efektif karena mensyaratkan skema lelang dalam pelaksanaan proyek PLTSa, yang menyebabkan lambatnya proses, terutama dalam tahap negosiasi harga jual listrik dengan PLN.
Dengan aturan baru yang sedang disiapkan, diharapkan proses pembangunan PLTSa bisa dilakukan lebih cepat dan efisien. Hal ini sekaligus menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah serius dalam mendukung inisiatif WTE sebagai bagian dari kebijakan energi nasional.
Dalam pengembangannya, WTE difokuskan untuk menghasilkan tiga produk utama. Pertama, listrik melalui teknologi insinerasi dan gasifikasi. Kedua, bioenergi berupa biomassa dan biogas. Ketiga, bahan bakar substitusi dari sampah plastik melalui pirolisis. Persentase kontribusi dari masing-masing teknologi sangat beragam. Insinerasi dapat menghasilkan listrik hingga 90 persen, gasifikasi 75 persen, biomassa sekitar 40 persen, dan pirolisis 40 persen.
Yuliot juga menegaskan bahwa teknologi ini mendukung target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) yang ditetapkan sebesar 23 persen pada tahun 2025. Saat ini, capaian bauran EBT nasional baru mencapai sekitar 14,65 persen. Artinya, WTE bisa menjadi salah satu instrumen strategis dalam mempercepat pencapaian target tersebut.
“Dengan waste to energy, kita tidak hanya mengatasi masalah sampah tapi juga berkontribusi pada transisi energi yang lebih bersih dan berkelanjutan,” kata Yuliot dengan optimistis.
Dari sisi dampak sosial, WTE tidak hanya menyelesaikan masalah penumpukan limbah, tetapi juga membuka lapangan kerja baru. Proyek-proyek PLTSa akan membutuhkan sumber daya manusia dalam pengoperasian, pemeliharaan, serta proses edukasi masyarakat agar dapat memilah dan mengelola sampah dengan lebih baik. Peran serta masyarakat menjadi penting dalam ekosistem ini.
Secara ekonomi, peluang investasi dari sektor ini sangat terbuka, baik untuk pelaku usaha skala besar maupun kecil. Pemerintah membuka ruang bagi investor swasta untuk turut serta dalam pembangunan fasilitas pengolahan sampah menjadi energi, dengan memberikan kepastian regulasi dan insentif tertentu.
Model bisnis pengelolaan sampah pun mengalami pergeseran paradigma. Sampah yang dulunya dianggap limbah semata, kini menjadi aset energi yang memiliki nilai ekonomis. Bahkan, dengan teknologi yang semakin canggih, pemanfaatan sampah sebagai bahan baku energi dapat bersaing dari sisi efisiensi dan biaya dengan sumber energi konvensional.
Selain itu, WTE menjadi salah satu pendekatan yang mendorong praktik ekonomi sirkular. Limbah dari satu proses menjadi input untuk proses lainnya, menciptakan ekosistem industri yang berkelanjutan dan minim limbah. Langkah ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi dan dekarbonisasi sektor energi.
Yuliot juga mengungkapkan bahwa keberhasilan pengembangan WTE sangat tergantung pada sinergi lintas sektor. Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, perusahaan teknologi, investor, serta masyarakat luas menjadi kunci agar seluruh ekosistem pengelolaan sampah dapat berjalan dengan baik.
Dengan dukungan kuat dari ESDM, serta kesiapan regulasi dan teknologi, transformasi sampah menjadi energi akan menjadi bagian penting dari perjalanan Indonesia menuju kemandirian energi dan kelestarian lingkungan.
Sampah tidak lagi menjadi beban, melainkan menjadi sumber daya baru. Dan dalam waktu dekat, Indonesia diharapkan dapat menjadi negara yang tak hanya mandiri energi, tetapi juga berhasil menjadikan sampah sebagai peluang ekonomi dan solusi lingkungan.