
JAKARTA - Perkembangan teknologi membawa banyak kemudahan, termasuk dalam hal hiburan dan edukasi anak. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa pemakaian gadget yang tidak terkendali oleh anak-anak dapat mengundang dampak serius bagi tumbuh kembang mereka, terutama bila tanpa batasan dan pengawasan orangtua.
Psikolog Luh Surini Yulia Savitri, S.Psi., M.Psi., mengangkat isu ini dalam kegiatan "Bakul Budaya" yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). Acara ini digelar dengan tema "Sehari Happy, Tanpa HP", sekaligus memperingati Hari Anak Nasional. Tujuan utama acara ini adalah mengajak keluarga untuk mencoba sehari penuh tanpa penggunaan gawai.
“Gadget itu isinya banyak sekali informasi, dan tidak semua informasi itu punya proteksi. Anak-anak, apalagi di bawah lima tahun, menyerap semua yang mereka lihat. Kalau isinya negatif, mereka akan meniru. Sudah pasti,” ujar Vivi sapaan akrab Luh Surini Yulia Savitri di Depok, Jawa Barat.
Baca Juga
Anak Menyerap Informasi Tanpa Filter
Anak-anak di usia dini memiliki karakteristik belajar yang unik, yaitu dengan meniru dan menyerap apa pun yang mereka lihat serta dengar. Jika gadget digunakan tanpa kontrol, maka anak-anak tidak hanya menjadi penonton pasif, tetapi juga menyerap informasi secara mentah, baik yang sesuai usia maupun tidak.
"Anak-anak itu belajar dari menyerap informasi. Kalau mereka terus-menerus melihat konten yang tidak sesuai usianya, mereka akan tiru plek-ketiplek. Dan sayangnya, belum tentu mereka tahu mana yang benar dan yang salah," jelas Vivi.
Bahkan anak usia sekolah, lanjut Vivi, belum memiliki kapasitas penuh dalam menyaring informasi. Dalam situasi seperti ini, anak belum bisa membedakan mana yang faktual, mana yang palsu, mana yang layak ditiru, dan mana yang sebaiknya dihindari. “Orang dewasa saja masih bisa tertipu oleh konten palsu. Apalagi anak-anak,” imbuhnya.
Dampak Anak Main Gadget Tanpa Batasan
Perilaku anak yang dibiarkan bermain gadget tanpa pendampingan orangtua cenderung berubah secara signifikan. Menurut pengamatan Vivi, salah satu dampak yang paling mudah terlihat adalah kecenderungan meniru perilaku agresif, kata-kata kasar, serta sikap hiperaktif yang mungkin mereka tonton di media sosial atau video daring.
“Speech delay itu salah satunya bisa karena tidak diajak ngobrol. Anak yang cuma nonton gadget itu kan pasif ya. Dia cuma lihat dan swipe, lihat dan swipe. Enggak ada latihan berbicara. Itu yang bisa bikin kemampuan komunikasinya terganggu,” jelasnya.
Lebih dari sekadar bicara, kemampuan anak untuk fokus dan memahami narasi panjang juga dapat terganggu akibat terlalu sering terpapar konten digital yang umumnya bersifat cepat dan instan. Tayangan singkat yang hanya berlangsung dalam hitungan detik membuat anak kehilangan kemampuan untuk menahan perhatian dalam waktu lama.
Dampingi Anak Ketika Main Gadget
Vivi tidak menyarankan pelarangan total terhadap gadget. Menurutnya, masalah utama bukan pada perangkatnya, melainkan pada pola penggunaan dan siapa yang mendampingi anak saat menggunakan perangkat tersebut. Pendekatan yang lebih tepat adalah mendampingi dan membimbing anak saat mereka bersentuhan dengan teknologi digital.
“Gadget itu enggak selalu negatif. Ada juga konten yang bagus dan edukatif. Tapi syaratnya dua: Sesuai dengan usia anak dan didampingi. Masalahnya bukan pada alatnya, tapi bagaimana anak menggunakannya dan siapa yang mendampingi,” terangnya.
Oleh karena itu, orangtua memiliki peran krusial untuk tetap aktif dalam mendampingi anak. Memberikan ruang bermain fisik, melibatkan mereka dalam aktivitas keluarga, serta menyediakan waktu berkualitas secara langsung merupakan bentuk keterlibatan yang tidak tergantikan oleh teknologi.
Tumbuh Kembang Butuh Koneksi Emosional
Dalam acara "Bakul Budaya", anak-anak terlihat mampu menikmati waktu mereka tanpa gadget, asalkan disediakan aktivitas yang menyenangkan dan melibatkan interaksi. Kegiatan mendongeng, bermain bersama, dan pengalaman budaya menjadi contoh bagaimana anak dapat tetap bahagia meski tanpa HP.
“Buktinya, dari pagi sampai siang di acara ini, mereka bisa kok enggak pegang HP. Karena mereka diajak main, diajak interaksi. Jadi gadget itu bukan kebutuhan primer. Yang dibutuhkan anak adalah perhatian dan aktivitas yang menyenangkan,” kata Vivi.
Ia menekankan bahwa kebutuhan utama anak bukanlah perangkat, melainkan keberadaan orangtua atau orang dewasa yang mampu membimbing mereka secara emosional, psikologis, dan sosial. Ketidakhadiran secara emosional dari orang dewasa dalam kehidupan anak, terutama ketika mereka tumbuh di era digital, bisa memunculkan masalah jangka panjang pada perkembangan anak.
“Anak belajar bukan cuma dari apa yang mereka lihat, tapi juga dari siapa mereka belajar. Tugas kita sebagai orang dewasa adalah memastikan bahwa mereka tumbuh dalam lingkungan yang aman, sehat, dan penuh kasih sayang,” pungkasnya.
Gadget dapat menjadi sarana edukatif jika digunakan dengan bijak. Namun, jika dibiarkan tanpa kontrol, terutama pada anak-anak usia dini, dampaknya dapat memengaruhi perkembangan kognitif, sosial, bahkan emosional mereka. Pendampingan, keterlibatan aktif, serta penyediaan ruang bermain yang sehat dan menyenangkan menjadi solusi utama. Teknologi memang tidak bisa dihindari, namun manusia tetap memegang kendali untuk menentukan bagaimana dan kapan sebaiknya digunakan terutama bagi anak-anak.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Legenda Sepak Bola Dunia Paling Berpengaruh Sepanjang Masa
- 01 Agustus 2025
2.
Jadwal dan Tarif Penyeberangan Feri Terbaru TAA Bangka Belitung
- 01 Agustus 2025
3.
Kereta Api Pasundan Baru, Nyaman dan Ramah Penumpang
- 01 Agustus 2025
4.
Oppo Find X9 Pro Usung Kamera 200MP dan Baterai Jumbo
- 01 Agustus 2025
5.
Kuliner Soto Lamongan: Jejak Tradisi dan Perantauan
- 01 Agustus 2025