
JAKARTA - Momentum Agustus 2025 bukan hanya menjadi peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80, tapi juga menjadi waktu tepat untuk menegaskan pentingnya pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat di tanah air. Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, mengingatkan bahwa kehadiran Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (UU MHA) harus menjadi perhatian semua pihak sebagai wujud penghormatan terhadap keberagaman dan kearifan lokal yang selama ini dijaga oleh masyarakat adat.
Menurut Lestari, meskipun masyarakat adat telah berperan besar dalam sejarah kemerdekaan dan pelestarian budaya, sampai saat ini pembahasan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat masih menghadapi hambatan yang cukup serius. Hal ini menjadi paradoks, terutama di saat bangsa merayakan kemerdekaan dan menguatkan jati diri nasional yang justru tak melibatkan pengakuan penuh terhadap hak-hak masyarakat adat.
Hal tersebut ia sampaikan dalam sambutan tertulis saat membuka diskusi daring bertajuk “Meneguhkan Hak, Merawat Kearifan, Memperkuat Peran Masyarakat Adat di Indonesia,” yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, 6 Agustus 2025. Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka menyambut Hari Masyarakat Adat Internasional yang jatuh pada 9 Agustus setiap tahunnya.
Baca Juga
Lestari menjelaskan bahwa Hari Masyarakat Adat Internasional, yang dideklarasikan oleh PBB pada 1994, bertujuan melindungi hak-hak masyarakat adat di seluruh dunia. Di Indonesia, momentum ini seharusnya dijadikan kesempatan untuk memperkuat komitmen negara terhadap eksistensi dan keadilan bagi masyarakat adat, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa.
Namun, menurut Lestari, saat bangsa memasuki usia ke-80 kemerdekaan, RUU MHA yang diharapkan menjadi payung hukum perlindungan masyarakat adat belum juga disahkan. Padahal tanpa pengakuan hukum yang jelas, masyarakat adat semakin rentan terhadap perampasan hak dan marginalisasi, meskipun mereka merupakan penjaga utama kearifan lokal Indonesia.
Lestari menegaskan bahwa meneguhkan hak, merawat kearifan lokal, dan memperkuat peran masyarakat adat harus dimulai dari pengakuan keberadaan seluruh masyarakat adat sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, ia mendorong agar pembahasan dan pengesahan RUU MHA dapat segera terlaksana, mengingat masyarakat adat adalah fondasi budaya dan identitas bangsa.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan Hak Asasi Manusia Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Muhammad Arman, menyampaikan kondisi masyarakat adat saat ini yang kian terpinggirkan, termasuk dalam bidang kebudayaan. Ia mengungkapkan data UNESCO yang mencatat setidaknya 11 bahasa daerah telah punah dan bahwa di Papua setiap dua minggu satu bahasa ibu hilang. Fenomena ini menunjukkan semakin rapuhnya keberlangsungan masyarakat adat di tengah laju pembangunan dan eksploitasi lahan yang kian meluas.
Menurut Arman, dalam konteks pembangunan nasional, masyarakat adat belum dipandang sebagai bagian utama dari keberagaman bangsa, padahal Indonesia berdiri di atas fondasi pluralitas yang melibatkan masyarakat adat. Kondisi rentan ini diperparah oleh kurangnya landasan hukum yang jelas dan justru diskriminatif bagi masyarakat adat.
Senada dengan itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menekankan bahwa masyarakat adat sebenarnya memiliki landasan filosofis kuat dalam konstitusi UUD 1945, yang mengakui keberadaan mereka di sejumlah pasal. Namun, tumpang tindih aturan dan ketidakjelasan regulasi menyebabkan pembahasan RUU MHA lebih kerap terjebak pada debat politis tentang terminologi dibandingkan fokus pada perlindungan nyata bagi masyarakat adat.
Yance menyarankan agar upaya menghadirkan undang-undang yang komprehensif dan memberi perlindungan menyeluruh bagi masyarakat adat harus dilandasi imajinasi dan kreativitas para pemangku kepentingan, sehingga bisa mengatasi berbagai persoalan dan tantangan yang selama ini dihadapi.
Sementara itu, Nur Amalia, Pendiri dan Dewan Pembina LBH APIK, menyampaikan bahwa kondisi masyarakat adat saat ini menegaskan kebutuhan mendesak akan kehadiran UU MHA yang kuat dan pelaksanaannya didukung kelembagaan khusus. Lembaga ini menjadi kebutuhan afirmatif guna mengatasi diskriminasi dan perbedaan perlakuan yang dialami masyarakat adat dalam mengakses hak-hak mereka.
Nur Amalia juga menyoroti pentingnya bab khusus dalam undang-undang yang mengatur perlindungan dan pemenuhan hak perempuan dan anak adat, yang menghadapi multiple diskriminasi di kehidupan sehari-hari. Kehadiran regulasi ini dianggap vital untuk memastikan hak-hak kelompok rentan di masyarakat adat terjamin.
Diskusi ini dimoderatori oleh Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI, Dr. Usman Kansong. Hadir sebagai narasumber selain Lestari, Muhammad Arman, Yance Arizona, dan Nur Amalia yang memberikan tanggapan dan pandangan mendalam tentang pentingnya pengesahan UU MHA.
Dengan berbagai sudut pandang dari akademisi, aktivis, dan politisi, diskusi ini semakin mempertegas bahwa pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat bukan sekadar kebutuhan politis, melainkan suatu keharusan sebagai bagian dari komitmen bangsa menjaga keberagaman, keadilan, dan hak asasi manusia.
Melalui pengesahan UU MHA, diharapkan perlindungan terhadap masyarakat adat dapat lebih nyata dan sistematis, memberikan mereka ruang hidup yang layak dan menjamin kelestarian budaya yang telah diwariskan turun-temurun. Dengan demikian, bangsa Indonesia dapat lebih maju dengan menghargai seluruh keberagaman yang dimiliki.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Kuliner Khas Surabaya Ala Food Vlogger Magdalena
- 09 Agustus 2025
2.
Diskon Indomaret Hingga 20 Agustus 2025
- 09 Agustus 2025
3.
Voli Seru di Moji TV: Jadwal Tayang 9 Agustus 2025
- 09 Agustus 2025
4.
Manchester United Sambut Sesko dan Hormati De Gea
- 09 Agustus 2025