
JAKARTA - Perubahan besar dalam sektor energi tidak lagi hanya menjadi wacana global. Di Indonesia, transisi energi kini diarahkan untuk menghasilkan manfaat konkret terutama dalam bentuk penciptaan lapangan kerja baru yang berkualitas.
Prahoro Yulijanto Nurtjahyo, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menegaskan pentingnya keberpihakan pada implementasi nyata dari proses transisi energi. Ia menyoroti bahwa perubahan arah kebijakan energi tidak seharusnya berhenti sebagai narasi idealisme, melainkan harus menjelma sebagai mesin penggerak sektor ketenagakerjaan yang produktif.
“Kalau tidak ada proyek, ya tidak ada pekerjaan. Sesederhana itu. Kita boleh saja membuat narasi seindah apa pun, tetapi kalau ujungnya tidak menghasilkan proyek nyata, maka tidak akan tercipta pekerjaan. Kuncinya adalah menciptakan nilai (create value) yang menghasilkan pekerjaan,” ujarnya pada Kamis, 31 Juli 2025, dalam sesi hari kedua Energi Mineral Festival 2025 yang berlangsung di Hutan Kota by Plataran, Jakarta.
Baca Juga
Proyek Nyata, Tenaga Terampil
Lebih lanjut, Prahoro memaparkan contoh konkret dari kebutuhan mendesak tenaga kerja terampil di lapangan. Salah satunya adalah proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang digagas oleh New Wheel. Proyek ini menghadapi tantangan bukan karena keterbatasan teknologi, melainkan karena minimnya tenaga kerja yang memiliki kompetensi instalasi panel surya.
“Faktanya di lapangan, mencari tenaga kerja yang kompeten untuk instalasi panel surya tidak mudah. Artinya, kompetensinya belum siap, dan proyek pun akhirnya tidak jalan,” ungkapnya.
Kondisi ini, menurut Prahoro, menunjukkan bahwa keberhasilan transisi energi tidak hanya tergantung pada kecanggihan teknologi atau besarnya investasi. Aspek sumber daya manusia justru menjadi faktor penentu yang krusial.
Kolaborasi Lintas Sektor Diperlukan
Prahoro menekankan perlunya sinergi antara berbagai pemangku kepentingan mulai dari institusi pendidikan, pelaku industri, pemerintah, hingga media massa—untuk memperkuat pemahaman publik terkait pentingnya transisi energi. Tidak hanya sekadar isu lingkungan, transisi energi juga memiliki potensi besar dalam membuka peluang kerja yang relevan di masa depan.
“Dalam proses ini, kita butuh peran semua pihak. Kita tidak bisa mengandalkan satu sektor saja. Harus ada sinergi yang kuat,” katanya.
Kolaborasi itu dinilai semakin penting, mengingat waktu yang dimiliki Indonesia untuk memanfaatkan momentum bonus demografi semakin sempit. Indonesia saat ini berada dalam apa yang disebut Prahoro sebagai “demographic window” yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 hanya lima tahun lagi.
“Kita sedang berada dalam masa demographic window yang sempit. Puncaknya adalah 2030, tinggal lima tahun lagi. Kalau tidak disiapkan dari sekarang, peluang ini akan lewat begitu saja,” ujarnya menegaskan urgensi situasi tersebut.
3.764 Jenis Pekerjaan di Sektor Energi
Berdasarkan data yang dihimpun BPSDM ESDM dalam Human Capital Summit sektor energi pada Juli 2025, terdapat sekitar 3.764 jenis pekerjaan yang teridentifikasi dalam sektor energi. Dari angka tersebut, 487 di antaranya adalah jenis pekerjaan baru yang muncul seiring dengan berkembangnya energi hijau dan teknologi pendukungnya.
Namun, sebagian besar dari total pekerjaan itu sebenarnya sudah ada sebelumnya. Hanya saja, agar tetap relevan dengan perkembangan zaman, pekerjaan-pekerjaan tersebut membutuhkan penyesuaian dari segi kompetensi.
“Kita sudah punya peta jenis pekerjaan dan kompetensinya. Tinggal bagaimana itu bisa di-pickup oleh universitas dan lembaga pendidikan lainnya. Semua elemen harus bergerak bersama, karena waktu kita tinggal lima tahun,” ujar Prahoro dengan nada tegas.
Tantangan Pendidikan dan Sertifikasi
Dari total sekitar 140 juta angkatan kerja di Indonesia, hanya 34 juta orang yang memiliki latar belakang pendidikan vokasi, dan sekitar 15 juta lulusan pendidikan tinggi (S1 ke atas). Fakta ini menunjukkan masih rendahnya proporsi tenaga kerja yang siap mengisi kebutuhan sektor energi yang terus berkembang.
Karena itu, menurut Prahoro, perguruan tinggi dan lembaga pelatihan vokasi perlu segera menyesuaikan kurikulum mereka. Kurikulum yang adaptif terhadap perkembangan sektor energi baru dan terbarukan sangat dibutuhkan. Ia juga menekankan pentingnya skema sertifikasi yang tepat, sehingga lulusan tidak hanya sekadar memiliki ijazah, tetapi juga punya bukti kompetensi yang diakui industri.
“Sertifikasi itu penting. Dengan adanya sertifikasi yang tepat, lulusan akan lebih mudah terserap di pasar kerja, terutama di bidang energi baru dan terbarukan,” tuturnya.
Gerak Cepat Menuju 2030
Menurut Prahoro, waktu yang dimiliki Indonesia untuk mempersiapkan tenaga kerja sesuai kebutuhan transisi energi sangat terbatas. Ia pun menekankan bahwa pendekatan yang harus dilakukan tidak bisa bersifat parsial atau lamban. Semua pihak harus bergerak serentak dan cepat agar potensi ekonomi dari transisi energi benar-benar bisa diraih.
“Kita harus bertindak sekarang. Tidak bisa menunggu. Kalau momentum ini terlewat, kita yang rugi,” katanya.
Transisi energi bukan hanya tentang mengganti batu bara dengan energi surya atau angin. Ia menyangkut aspek yang lebih luas—dari kesiapan regulasi hingga kesiapan manusia yang akan menjalankan teknologi tersebut. Dengan arah yang tepat, transisi energi bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, penciptaan pekerjaan, dan pembangunan berkelanjutan.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Legenda Sepak Bola Dunia Paling Berpengaruh Sepanjang Masa
- 01 Agustus 2025
2.
Jadwal dan Tarif Penyeberangan Feri Terbaru TAA Bangka Belitung
- 01 Agustus 2025
3.
Kereta Api Pasundan Baru, Nyaman dan Ramah Penumpang
- 01 Agustus 2025
4.
Oppo Find X9 Pro Usung Kamera 200MP dan Baterai Jumbo
- 01 Agustus 2025
5.
Kuliner Soto Lamongan: Jejak Tradisi dan Perantauan
- 01 Agustus 2025