JAKARTA - Musim panen tembakau di Kabupaten Bondowoso kembali membawa geliat ekonomi di kalangan masyarakat, khususnya bagi pelaku usaha kecil menengah yang menjual perlengkapan off farm seperti alat rajang. Kondisi ini menjadi sinyal positif bahwa siklus tahunan panen tembakau tidak hanya berdampak pada sektor pertanian, tetapi juga memberi efek domino terhadap pelaku usaha penunjang di berbagai wilayah.
Salah satu pelaku usaha yang merasakan langsung peningkatan ini adalah Suwito, warga Desa Kupang, Kecamatan Pakem. Ia secara mandiri memproduksi alat rajang tembakau dengan bahan baja impor. Meskipun usahanya bersifat musiman dan hanya aktif saat panen tembakau berlangsung, permintaan terhadap produk buatannya tetap tinggi, bahkan meluas hingga ke luar kecamatannya.
“Saya beli bahan bakunya seperti baja impor dari Cina. Kemudian saya las, ditempa sampai presisi hingga diasah setajam mungkin,” ujar Suwito saat ditemui di workshop sederhananya. Ia telah menjalani pekerjaan ini secara otodidak dan mengandalkan keterampilan teknis yang terus diasah dari waktu ke waktu.
Meski tak aktif sepanjang tahun, usaha Suwito selalu menunjukkan potensi menjanjikan setiap musim panen datang. Ia mengaku pelanggan tidak hanya datang dari sekitar Pakem, tetapi juga dari Kecamatan Wringin dan Binakal. “Memang khusus untuk usaha tembakau yang sekarang mulai masuk masa panen. Walaupun begitu, hasilnya lumayan. Warga Wringin dan Binakal juga beli ke sini,” ucapnya.
Alat rajang yang diproduksi Suwito tergolong sederhana namun efektif. Produk yang ia jual berupa pisau tajam yang dapat dimodifikasi menjadi alat rajang manual. Biasanya, pisau tersebut dipasang pada balok kayu dan dilengkapi dengan kursi, tempat duduk buruh rajang saat memotong daun tembakau menjadi potongan kecil siap kering.
“Pisau saya jual dengan harga Rp 250 ribu sampai Rp 350 ribu per pisaunya. Alhamdulillah, sehari omzet selalu di atas Rp 1,5 juta. Kerja santai,” tuturnya dengan senyum puas. Ia mengaku sistem produksinya fleksibel dan menyesuaikan jumlah permintaan. Ketika panen datang, aktivitas produksi otomatis meningkat demi memenuhi pesanan dari berbagai desa.
Kondisi ini juga diamini oleh Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kabupaten Bondowoso, Yasid. Ia menyebut bahwa saat ini sejumlah wilayah mulai memasuki masa panen, terutama bagi petani yang memulai penanaman tembakau sejak Maret hingga April. “Bagi yang tanam Maret-April, Juli ini sudah masuk panen. Biasanya lahan tadah hujan seperti di wilayah pegunungan,” ujarnya.
Menurut Yasid, lahan tembakau di wilayah dataran tinggi biasanya mengandalkan curah hujan alami. Oleh karena itu, waktu tanam mereka lebih awal dibandingkan dengan lahan teknis yang memiliki akses irigasi. Untuk lahan teknis, masa panen diperkirakan akan berlangsung pada Agustus mendatang, dengan harapan cuaca mendukung sehingga hasil panen optimal.
Namun, Yasid juga menyoroti tantangan besar yang tengah dihadapi petani tembakau saat ini, yaitu kondisi cuaca yang tidak menentu. Ia mengingatkan bahwa jika musim kemarau terlalu basah, maka kualitas tembakau berisiko menurun karena daun menjadi terlalu lembap dan tidak bisa mengering sempurna. Ini akan berpengaruh pada harga jual di pasaran.
“Kalau cuaca bersahabat, harga bisa mahal. Tapi kalau kemarau basah seperti sekarang, kualitas tembakau bisa menguning dan kuantitasnya turun,” ungkap Yasid yang juga petani asal Desa Pekalangan, Kecamatan Tenggarang.
Secara lebih rinci, ia menjelaskan bahwa panen di lahan yang terkena kemarau basah dapat menghasilkan hanya sekitar 900 kilogram per hektar, jauh dari rata-rata normal yang biasanya mencapai 1 hingga 1,2 ton per hektar. Oleh karena itu, ia mengimbau para petani untuk lebih berhati-hati dalam proses panen dan pengeringan.
Menurunnya hasil panen tentu akan berdampak pada pendapatan petani secara langsung. Namun demikian, harapan tetap ada selama petani dapat menjaga kualitas tembakau dan memanfaatkan peluang yang ada, termasuk memperkuat kerja sama dengan pelaku usaha pendukung seperti produsen alat rajang lokal.
Keterkaitan erat antara proses produksi tembakau dengan usaha pendukung semacam ini menunjukkan bahwa sektor pertanian di Bondowoso tak bisa dipandang secara parsial. Ketika musim panen tiba, tidak hanya lahan yang bekerja, tapi juga bengkel kecil, toko peralatan tani, hingga jasa angkut lokal ikut merasakan dampaknya.
Apa yang dilakukan oleh Suwito mencerminkan semangat inovatif dan tanggap terhadap kebutuhan lokal. Ia memanfaatkan celah pasar dari musim panen untuk mengembangkan produk yang sederhana namun sangat dibutuhkan oleh petani. Keberadaannya tak hanya membantu mempercepat proses pascapanen, tetapi juga membuka lapangan kerja dan perputaran ekonomi mikro di desanya.
Musim panen tembakau kali ini, meskipun dihadapkan pada risiko cuaca yang kurang ideal, tetap disambut dengan semangat dan strategi adaptif oleh para petani dan pelaku usaha lokal. Mereka sadar bahwa kesuksesan panen tidak hanya ditentukan oleh apa yang tumbuh di ladang, tetapi juga oleh kesiapan ekosistem pendukung yang bekerja di balik layar.
Dengan koordinasi yang baik antara petani, pelaku usaha pendukung, dan pengelolaan risiko cuaca, harapannya hasil panen tahun ini tetap memberikan keuntungan optimal. Musim panen bukan hanya momentum pertanian, tetapi juga tonggak penting bagi ekonomi lokal yang terus tumbuh bersama.