Olahraga Terbukti Perpanjang Hidup Penderita Kanker Usus Besar

Selasa, 08 Juli 2025 | 15:36:29 WIB
Olahraga Terbukti Perpanjang Hidup Penderita Kanker Usus Besar

JAKARTA - Alih-alih hanya mengandalkan pengobatan medis seperti operasi dan kemoterapi, kini olahraga mulai terbukti punya peran krusial dalam memperpanjang kelangsungan hidup penderita kanker, khususnya kanker usus besar. Penemuan ini tidak lagi hanya bersandar pada pengamatan semata, melainkan telah dibuktikan melalui uji coba terkontrol acak berskala besar yang melibatkan hampir 900 pasien dari enam negara dan 55 rumah sakit berbeda.

Penelitian tersebut menjadi terobosan penting karena untuk pertama kalinya, efek langsung olahraga terhadap kelangsungan hidup penderita kanker bisa dibuktikan secara ilmiah. Studi ini menyasar pasien kanker usus besar stadium III dan sebagian stadium II yang sudah menjalani operasi serta kemoterapi standar. Selanjutnya, mereka dipisah ke dua kelompok secara acak: satu kelompok hanya menerima edukasi gaya hidup sehat, sedangkan kelompok lainnya mengikuti program olahraga dengan bimbingan khusus selama tiga tahun.

Konsultan aktivitas fisik mendampingi peserta seperti layaknya pelatih pribadi. Mereka membantu pasien memilih dan menjadwalkan aktivitas yang cocok dan dapat dijalankan secara konsisten. Menariknya, jenis olahraga yang dilakukan bersifat fleksibel. Pasien bebas memilih aktivitas seperti berenang, bersepeda, jogging, atau bahkan berkayak. Namun sebagian besar lebih memilih berjalan cepat selama 45 menit sebanyak empat kali dalam seminggu.

Hasilnya sangat signifikan. Risiko kematian pada kelompok yang berolahraga turun hingga 37 persen. Tak hanya itu, risiko kekambuhan atau munculnya kembali kanker juga berkurang sebesar 28 persen dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengikuti program olahraga. Menurut Dr. Christopher Booth, profesor onkologi dari Universitas Queen di Kanada yang memimpin penelitian ini, angka tersebut sangat menggembirakan dan membuka peluang baru dalam pendekatan pengobatan kanker.

Dalam jangka waktu lima tahun, 80 persen pasien di kelompok olahraga tetap bebas dari kanker, sedangkan pada kelompok yang hanya mendapat edukasi, angkanya berada di 74 persen. Lebih jauh lagi, dalam delapan tahun, program ini terbukti bisa mencegah satu kematian untuk setiap 14 peserta yang terlibat.

Satu hal yang sangat menarik, penurunan risiko kematian dalam studi ini sebagian besar berasal dari pencegahan kekambuhan kanker usus besar itu sendiri, bukan dari penyakit lain seperti penyakit jantung. Hal ini memperkuat kesimpulan bahwa olahraga berperan langsung terhadap keberhasilan pengobatan kanker, dan bukan sekadar menjaga kesehatan umum.

Dr. Michelle Holmes dari Universitas Harvard menyambut hasil ini dengan antusias. Ia menyebutnya sebagai berita luar biasa, terlebih di tengah meningkatnya kasus kanker usus besar di kalangan orang dewasa muda. Selama ini, sebagian besar pasien hanya menjalani pengobatan medis standar dan tidak mendapat bimbingan lebih lanjut mengenai cara mempertahankan gaya hidup sehat setelah terapi selesai.

“Biasanya kami hanya berharap kankernya tidak kambuh,” kata Dr. Booth. Padahal, sekitar 30 hingga 40 persen pasien kanker usus besar mengalami kekambuhan. Situasi inilah yang memunculkan pertanyaan besar dari para pasien: Apa yang bisa mereka lakukan setelah selesai menjalani perawatan medis?

Kini jawabannya makin jelas: olahraga sebaiknya menjadi bagian dari paket perawatan standar bagi pasien kanker. Dr. Graham Colditz, seorang pakar epidemiologi dari Washington University, turut menegaskan hal tersebut. Ia menyarankan agar olahraga tidak lagi dianggap sebagai aktivitas pelengkap, tetapi bagian penting dari upaya penyembuhan kanker.

Hal lain yang cukup mengejutkan dari penelitian ini adalah bahwa penurunan berat badan tidak menjadi faktor penentu keberhasilan program olahraga ini. Kedua kelompok pasien memiliki penurunan berat badan yang hampir sama. Dengan demikian, manfaat olahraga bukan berasal dari penurunan berat badan, melainkan dari efek biologis langsung aktivitas fisik itu sendiri. Peneliti kini tengah menelusuri lebih dalam lewat analisis sampel darah, untuk melihat apakah efek tersebut berhubungan dengan penurunan kadar insulin, pengurangan peradangan, atau faktor lainnya.

Namun perlu diingat, efektivitas program olahraga ini sangat dipengaruhi oleh konsistensi pasien dalam menjalankan rutinitasnya. Dalam studi ini, peserta tergolong pasien yang lebih muda dan relatif lebih sehat dibandingkan dengan rata-rata penderita kanker. Mereka juga menunjukkan motivasi tinggi untuk aktif bergerak. Bahkan kelompok kontrol pun diketahui tetap meningkatkan aktivitas fisiknya, meskipun tidak sebanyak kelompok yang dibimbing konsultan.

Inilah pentingnya kehadiran konsultan aktivitas fisik. Mereka bukan hanya sekadar mengarahkan latihan, tetapi juga menjadi pengingat, motivator, dan pendamping selama proses berlangsung. Total ada 48 sesi yang dijalani selama tiga tahun, dengan biaya antara US$3.000 hingga US$5.000 per pasien, tergantung fasilitas rumah sakit.

Salah satu pasien yang terlibat dalam studi ini, Terri Swain-Collins, mengaku bahwa peran konsultan sangat membantunya tetap berkomitmen menjalankan program. “Saya tahu saya akan bertemu konsultan setiap dua minggu. Itu membuat saya tidak bisa malas-malasan,” ungkapnya. “Kalau tidak ada jadwal itu, mungkin saya akan berhenti.”

Penelitian ini memberikan harapan baru dan kontrol yang lebih besar bagi penderita kanker terhadap proses kesembuhannya. Olahraga kini tak lagi hanya untuk kebugaran, tetapi telah terbukti memperpanjang usia dan mencegah kekambuhan penyakit. Ini bisa menjadi langkah awal untuk perubahan paradigma dalam dunia pengobatan kanker bahwa aktivitas fisik yang rutin adalah bagian dari resep hidup yang lebih panjang dan sehat.

Terkini