JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto secara resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) di halaman Istana Kepresidenan, Jakarta. Dengan ambisi besar untuk menjadi instrumen pembangunan nasional, kehadiran Danantara diharapkan mampu mengoptimalkan pengelolaan kekayaan Indonesia. Namun, peluncuran ini tidak lepas dari berbagai kekhawatiran terhadap efektivitas dan tata kelola institusi ini.
"Peluncuran Danantara Indonesia hari ini memiliki arti yang sangat penting karena Danantara Indonesia bukan sekadar badan pengelola investasi melainkan harus menjadi instrumen pembangunan nasional yang akan mengoptimalkan cara kita mengelola kekayaan Indonesia," ujar Presiden Prabowo saat meresmikan badan baru ini. Pernyataan ini menegaskan peran strategis yang diharapkan dari Danantara dalam kapasitasnya mengelola kekayaan negara.
Akan tetapi, kemunculan Danantara juga memicu diskusi panas mengenai kejelasan aspek hukum dan politik pembentukan badan ini. Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, mengkritik proses legislatif terkait yang dinilai terburu-buru. “Saya diminta hadir di DPR, hanya dalam dua hingga tiga hari undang-undang ini langsung disahkan. Ini menjadi persoalan besar,” ujarnya dalam diskusi yang digelar Universitas Paramadina bersama Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Diskusi bertajuk “Apakah Pengelola Dana Negara Danantara Kebal Hukum?” digelar secara daring, mencoba menjawab skeptisisme publik terkait tata kelola dan regulasi hukum Danantara. Sorotan utama Didik adalah asas impunitas yang diimplementasikan dalam Danantara, yang berpotensi menurunkan kepercayaan publik. “Business judgment rule dalam Danantara tidak boleh menjadi perlindungan bagi pelaku korupsi,” tegasnya.
Kekhawatiran lain datang dari Direktur Eksekutif LP3ES, Fahmi Wibawa, yang menekankan pentingnya pemisahan jelas antara regulator dan operator dalam prinsip good governance. Ia menyatakan bahwa regulasi yang ada memberi perlindungan hukum bagi pengelola BUMN, yang bisa mengaburkan garis akuntabilitas. “Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, menteri dan pegawai organ BUMN tidak dapat diminta pertanggungjawaban jika tidak ada bukti yang cukup. Artinya, mereka seolah kebal hukum,” jelasnya.
Perspektif berbeda disampaikan oleh Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin. Ia menyoroti bagaimana strategi pengelolaan BUMN seringkali kurang inovatif. “Pemerintah kita kurang kreatif dan lebih menghargai administrasi dibandingkan inovasi. Konsolidasi BUMN sebenarnya sudah diinisiasi sejak lama, namun tertunda akibat krisis,” ungkapnya. Menurutnya, Danantara seharusnya bisa menjadi jawaban atas kebutuhan inovasi ini jika dikelola dengan baik.
Namun, Wijayanto tidak menampik adanya skeptisisme yang kuat dari publik dan investor. Dalam kurun 10 tahun terakhir, keterlibatan BUMN dalam berbagai kasus korupsi membuat publik cenderung berhati-hati. “Skeptisisme masyarakat dan investor terhadap Danantara sangat besar. Dalam 10 tahun terakhir, kita melihat berbagai kasus korupsi besar yang membuat publik tidak ingin sejarah kelam ini terulang,” katanya.
Mirisnya, skeptisisme ini berdampak langsung pada pasar saham. Wijayanto mencatat, “Kinerja Jakarta Composite Index (JCI) saat ini merupakan yang terburuk dibandingkan indeks utama dunia dan Asia. Penurunan harga saham BUMN lebih tajam daripada JCI, di mana kehadiran Danantara diduga menjadi salah satu faktor utama,” ungkapnya. Kondisi ini menjadi salah satu indikator kekurangan kepercayaan pasar terhadap pembentukan Danantara.
Di sisi hukum, Hadi R. Purnama, Direktur Hukum, HAM, Gender, dan Inklusi Sosial LP3ES, menyoroti pentingnya kepastian hukum terkait status kelembagaan Danantara. Dia mempertanyakan apakah Danantara berfungsi sebagai lembaga publik atau privat, karena kedua status ini memiliki implikasi hukum dan mekanisme pengawasan berbeda. “Bagaimana mungkin aset BUMN dikelola oleh Danantara, tetapi kerugian yang terjadi tidak dianggap sebagai kerugian negara?” tanyanya, menekankan potensi celah hukum di masa depan.
Dalam diskusi tersebut, tercatat enam tantangan utama dalam tata kelola Danantara, mulai dari ketidakjelasan agenda institusional hingga lemahnya penerapan good corporate governance. Wijayanto menawarkan enam rekomendasi sebagai solusi, antara lain transparansi dalam rekrutmen pengurus, seleksi berbasis profesionalisme, serta penguatan corporate governance dan pengawasan internal.
Para narasumber sepakat bahwa meski Danantara hadir dengan visi besar, tata kelolanya harus diperketat untuk mencegah permasalahan hukum dan ekonomi di masa depan. “Jika ingin dikelola dengan baik, maka harus dipastikan bahwa Dana Danantara benar-benar digunakan untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya bagi masyarakat,” tegas Hadi. Semua ini untuk memastikan bahwa kebijakan negara berpihak pada kesejahteraan rakyat, seperti yang diingatkan oleh Hadi, “Usia bangsa ini lebih panjang daripada usia pejabatnya. Kebijakan harus berorientasi jangka panjang demi kepentingan rakyat.”
Dengan tantangan dan skeptisisme yang ada, jalan panjang masih perlu dilalui oleh Danantara untuk meyakinkan publik dan membuktikan kapasitasnya dalam mengelola kekayaan negara secara efektif dan transparan.