JAKARTA - Pergerakan bursa saham Asia pada Jumat, 8 Agustus 2025, menampilkan dinamika yang beragam setelah pasar Amerika Serikat (Wall Street) menghentikan reli kenaikan yang selama ini mendorong saham-saham mendekati level tertinggi. Kondisi ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap pasar yang dinilai mulai terlalu panas dan potensi koreksi dalam waktu dekat.
Kontrak berjangka indeks saham di Australia dan Hong Kong tercatat menunjukkan pelemahan pada pembukaan perdagangan, sementara di Jepang, kontrak berjangka justru menguat. Di sisi lain, kontrak saham Amerika Serikat mengalami kenaikan tipis, meski indeks S&P 500 pada perdagangan kemarin berakhir nyaris tanpa perubahan, setelah mengalami lonjakan hampir 30% dari titik terendahnya pada bulan April.
Dolar Amerika Serikat kembali melemah untuk keenam kalinya secara beruntun pada Jumat pagi, dan diperkirakan akan mencatat penurunan terpanjang sejak Maret 2024. Di antara mata uang utama lainnya, yen Jepang mencatat penguatan terbesar terhadap dolar AS, menyusul pernyataan dari kepala negosiator dagang Jepang bahwa Amerika Serikat telah menyetujui pengakhiran praktik "stacking" pada tarif universal serta pengurangan pungutan terhadap impor mobil. Kesepakatan tersebut membawa angin segar bagi perdagangan bilateral.
- Baca Juga Pinjaman Mudah KUR BRI 2025 Pelaku UMKM
Meskipun awal perdagangan relatif tenang, kekhawatiran pasar mulai menguat menjelang akhir pekan, terutama dipicu oleh rentetan berita yang menyangkut kebijakan tarif perdagangan global. Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan India juga menjadi salah satu faktor yang membebani sentimen pasar.
Dalam perkembangan terkait, Presiden Trump memberi sinyal bahwa sanksi baru terhadap Rusia bisa saja diumumkan pada hari Jumat. Menteri Keuangan Scott Bessent menambahkan bahwa tarif terhadap China juga "mungkin akan dipertimbangkan" terkait dengan pembelian minyak dari Rusia. Hal ini memperlihatkan potensi ketegangan geopolitik yang masih membayangi pasar.
Sementara itu, sejumlah perusahaan besar memberikan peringatan kepada kliennya agar bersiap menghadapi koreksi jangka pendek, terutama mengingat valuasi saham yang sudah sangat tinggi saat ini. Meskipun reli tajam di pasar saham AS sempat menghentikan laju kenaikan, para investor tetap waspada akan kemungkinan turunnya pasar dalam waktu dekat.
Indeks S&P 500 yang telah melonjak sebesar 30% sejak titik terendah pada bulan April menjadi sorotan utama. Kekhawatiran juga muncul karena faktor musiman yang biasanya menunjukkan bulan Agustus dan September sebagai dua bulan dengan performa terburuk bagi indeks tersebut.
Obligasi Australia juga mengalami pelemahan yang mengikuti jejak Treasury Amerika Serikat setelah obligasi pemerintah senilai 25 miliar dolar AS terjual pada Kamis lalu. Hal ini menyusul hasil lelang obligasi bertenor tiga dan 10 tahun yang kurang menggembirakan pekan ini. Kenaikan imbal hasil obligasi jangka panjang pun mulai mereda, dengan obligasi bertenor 30 tahun mencatat kenaikan satu basis poin menjadi 4,83%, sedangkan obligasi 10 tahun naik dua basis poin menjadi 4,25%.
Dalam data ekonomi, klaim pengangguran berkelanjutan di Amerika Serikat melonjak ke level tertinggi sejak November 2021, menambah indikasi bahwa pasar tenaga kerja mulai melemah. Kondisi ini menjadi perhatian bagi pelaku pasar dan pengambil kebijakan.
Sementara itu, dari sisi kebijakan moneter, Deputi Gubernur Federal Reserve Christopher Waller muncul sebagai kandidat utama untuk menjabat gubernur bank sentral, menggantikan Jerome Powell. Informasi ini diperoleh dari sumber yang mengetahui proses pencalonan tersebut. Presiden Trump juga telah memilih Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Stephen Miran untuk mengisi posisi deputi gubernur yang kosong, yang harus mendapatkan persetujuan Senat.
Di Inggris, Bank of England membuat keputusan mengejutkan dengan memangkas suku bunga ke level terendah dalam lebih dari dua tahun, sebuah langkah yang lebih ketat dari perkiraan pasar. Kebijakan ini menimbulkan ketidakpastian nyata bagi investor mengenai langkah-langkah moneter berikutnya. Terlepas dari ketidakpastian tersebut, poundsterling menguat.
Keseluruhan situasi ini memperlihatkan pasar keuangan global yang penuh tantangan dan dinamis, di tengah ketegangan geopolitik, perubahan kebijakan moneter, dan ketidakpastian ekonomi yang masih membayangi. Investor di Asia dan dunia terus mencermati berbagai faktor yang dapat mempengaruhi arah pasar dalam waktu dekat.